Saturday, July 25, 2009

Babak III Berdialog dengan Allah

Sering kita mendengar pendapat, bahwa pada saat shalat sesungguhnya kita sedang berjumpa dengan Allah. Rasulullah saw pun bersabda : Ash shalaatu mi'rajul mu'miniin. Bahwa, shalat itu adalah mi'rajnya orang-orang yang beriman. Shalat diumpamakan sebagaimana halnya Nabi mi'raj. Seorang hamba diperjalankan untuk datang, mendekat, menemui Tuhannya. Dalam mi'raj itu, Nabi berdialog dengan Allah dan menerima perintah shalat. Konon, salah satu bagian dari dialog itu diabadikan dalam bacaan tahiyyad awal.

Setelah membaca Lauhil Mahfuz ditempat alam tertinggi berdiri Arasy Allah, maka berkatalah Muhammad : "Attahiyyatu lillaah, wa shalawaatu thayiibaat” (Seluruh penghormatan hanya untuk ya Allah, begitu juga seluruh keselamatan dan kebaikan). Allah menjawab: "Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wabarakaatuh" (Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi, serta rahmat Allah dan berkat Nya.). Nabi menjawab: "Assalamu'alaina wa alaa ibaadilllahis shalihin" (Limpahkanlah kesejahteraan bagi kami, juga kepada hamba Allah yang saleh). Dengan takjub malaikat ramai-ramai menunjuk dan berkata: "Asyhadu alaa ilaaha ilallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah". 7

Suatu dialog yang penuh kesantunan dan kasih sayang antara seorang hamba dengan penciptanya.


Allah menjawab setiap pujian dan doa

Shalat secara bahasa berarti do’a. Doa pada hakikatnya merupakan bentuk dialog antara manusia dengan Allah Swt. Ketika seseorang shalat, hakekatnya ia sedang bertemu dan berdialog dengan Allah Swt.. Oleh karena itu secara hakiki fungsi shalat dan mi’raj sama yaitu bertemu dan berdialog dengan Allah Swt.

Ketika kita bertakbir dan memuji Allah, sesungguhnya Allah menjawab pujian itu. Ketika kita membawa surat Al Fatihah, sesungguhnya Allah meresponnya, sebagaimana dinyatakan dalam satu hadits qudsi dari hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat no. (38) (395) dari Abu Hurairah R.A, bahwa :

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca: ‘Segala puji bagi Allah’. Maka Allah menjawab : ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Apabila ia membaca : ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’. Maka Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku’. Apabila ia membaca : ‘Penguasa hari pembalasan’. Maka Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku’. Apabila ia membaca: ‘Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan’. Maka Allah menjawab : ‘Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku’. Apabila ia membaca : ‘Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus’. Maka Allah menjawab : ‘Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta.’”

Demikian pula ketika kita berdoa saat duduk diantara dua sujud. Secara khusus kita bersimpuh dihadapan Allah untuk menyampaikan 8 permohonan kepadanya.
Rabbighfirlii (ampuni aku)
Warhamnii (sayangi aku)
Wajburnii (tutupi aib-aibku)
Warfa’nii (angkat derajatku)
Warzuqnii (beri aku rizki)
Wahdinii (beri aku petunjuk)
Wa’afinii (sehatkan aku)
Wa’fuani (maafkan aku).

Ketika itu, sesungguhnya kita sedang berdialog dengan Allah. Dari setiap apa yang kita minta, sesungguhnya Allah memberikan jawaban atas permohonan atau doa kita tersebut, sebagaimana firman Nya :

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah [2] : 186)

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS. Al Mu'min [40] : 60).

Yang menjadi permasalahan dan pertanyaan adalah apakah kita pernah merasakan jawaban atau respon Allah tersebut? Hampir kita tidak pernah merasakannya, sehingga kadang muncul sangkaan, bahwa Allah tidak mendengar doa kita, bahkan mungkin merasa doa kita tidak sampai ke Allah. Ada juga yang berpendapat, bahwa hanya doa orang-orang yang suci hatinya, setingkat nabi atau minimal wali, yang didengar oleh Allah. Padahal kita semua tahu, bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Dekat dan Maha Pengabul Doa, tapi seberapakah percayanya kita?


Komunikasi dua arah

Sebenarnya kalau kita perhatikan, permasalahannya bukan kepada apakah Allah menjawab doa ataupun menyambut dialog kita ketika sedang shalat, tetapi lebih kepada sikap kita dalam berkomunikasi.

Dalam sebuah dialog, maka akan terjadi komunikasi timbal balik. Ketika si A berkata, seyogyanya si B mendengarkan. Setelah selesai, maka si B akan menjawab atau memberikan tanggapan dan si A ganti yang mendengarkan dengan seksama jawaban si B. Jika satu pihak hanya asyik berbicara sendiri tanpa mempedulikan lawan bicaranya, maka akan terjadi dialog yang timpang. Pihak yang asyik berbicara sendiri tidak akan mendapat jawaban pertanyaannya, solusi atas permasalahan yang diutarakan ataupun apresiasi dari lawan bicaranya.

Hal ini seringkali terjadi dalam shalat dan doa kita. Ketika kita shalat atau berdoa, kita asyik membaca bacaan shalat atau bacaan doa yang telah kita hafal. Sering kali bacaan shalat atau doa dilafadzkan dengan cepat tanpa kita sadari maknanya. Seolah-olah bacaan shalat yang terdiri dari pujian dan permohonan itu adalah mantra atau aba-aba saja.

Ketika kita berdoa saat duduk diantara dua sujud, kita mengucapkannya dengan cepat:
Rabbighfirlii, warhamnii, wajburni, warfa’ni, warzuqnii, wahdinii, wa’afinii, wa’fuani.

Delapan permohonan kita sampaikan tanpa jeda. Lalu tanpa basa-basi kita langsung sujud. Seolah-olah kita tidak butuh dengan apa yang kita mohonkan.

Andaikan bacaan itu kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia, lalu kita sampaikan permintaan yang kira-kita sama bentuknya kepada Presiden RI, tentu akan lain ceritanya.

Pak Presiden, ampuni kesalahan saya…. (sambil melihat ekspresi wajahnya dengan harap-harap cemas, mudah-mudahan Beliau tidak marah dan tersenyum).
Sayangi rakyatmu ini …… (sambil membungkuk mengharapkan Presiden membelai kepala dan pundak kita)
Mohon jangan diumumkan kekhalayak ramai keburukan saya (sambil kita memasang muka yang memelas)
Mohon Paduka naikkan pangkat dan jabatan saya (sambil kita menggenggam erat tangan Presiden)
Mohon Paduka juga menaikkan gaji saya agar dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga dan ada sedikit sisa untuk simpanan (ekspresi muka dibuat semakin memelas)
Mohon petunjuk Pak Presiden untuk menyelesaikan urusan kami (sambil tersenyum simpatik berusaha meyakinkan)
Mohon bantuan obat-obatan dan biaya rumah sakit agar kami dapat mengobati penyakit-penyakit kami (sambil menujukkan bagian tubuh kita yang sakit dan bekas luka)
Maafkan kami Paduka (lalu beringsut mengundurkan diri dengan penuh sopan santun lalu).

Coba bandingkan dengan sikap kita ketika berdoa. Betapa seringkali kita menyepelekan Allah. Mentang-mentang Allah tidak kelihatan, kita suka bersikap seenaknya. Dalam kondisi ini pun sebenarnya Allah selalu merespon pujian dan permohonan kita, karena Dia Maha Dekat, Maha Pemaaf, Maha Tahu, Maha Cepat dan selalu menepati janji Nya.

Sebenarnya dengan sikap yang tidak patut itu, kita sendiri yang rugi. Kita tidak mampu lagi menangkap jawaban Allah atas doa kita, karena kita terlalu sibuk dan terburu-buru ketika menyampaikan permintaan. Lalu setelah menyampaikannya, kita langsung saja meninggalkan Allah. Kita tidak peduli ketika Allah memberikan jawaban Nya. Kita banyak meminta, tetapi tidak mempersiapkan diri untuk menerima apa yang kita minta.

Bagaimana cara kita berdoa dijelaskan secara singkat di dalam Al Qur’an.

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al A’raaf [7]:55-56)

Dalam berdoa kita harus merendahkan hati dan santun dalam menyampaikan. Kita perlu menyadari, bahwa hanya Allah-lah yang bisa mengabulkan doa kita.

Jangan berfikir jawaban Allah akan berupa kata-kata seperti halnya kita berbicara dengan sesama manusia. Jawaban Allah bukanlah berupa kata, suara ataupun tulisan. Misalnya, kita mengalami kesulitan keuangan. Jika kita memohon rejeki kepada Allah, tidak serta merta lalu ada sejumlah uang disebelah kita atau ada orang yang datang memberikan sejumlah uang atau muncul gambaran yang menyatakan dimana ada harta karun. Yang umum terjadi adalah beban di dada dan kekalutan di pikiran yang timbul akibat kesulitan keuangan tersebut diangkat terlebih dulu oleh Allah. Sesaat setelah selesai kita berdoa, kita tetap tidak punya uang, tetapi hati kita terasa lapang. Beban masalah seolah-olah hilang begitu saja. Dengan pikiran yang jernih, ilham akan lebih mudah diterima. Hati yang lapang membuat wajah bersinar, menyenangkan orang yang memandangkan. Selanjutnya secara bertahap dan pasti, rejeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka. “Tangan-tangan” Allah bergerak sedemikian halus sehingga ketika masalah tersebut telah dapat diatasi, kita sering lupa bahwa kita pernah berdoa kepada Allah untuk itu.



Mudah-mudahan Anda dapat merasakan respon dari Allah atas permohonan yang disampaikan di atas. Jika tidak, bukan berarti Allah tidak menjawab doa kita, tetapi kita yang tidak dapat menangkap respon Nya.






________________

7 Riwayat seperti ini meskipun tertulis dalam beberapa kitab tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj menurut http://www.darulfatwa.org.au/ adalah kisah yang tidak sahih (benar).

Babak III Tunduk dalam Kepasrahan

Masih ingatkah pelajaran rukun shalat yang pernah kita terima ketika kita masih duduk di bangku SD, SMP atau SMA?. Secara ringkas, rukun shalat adalah sebagai berikut :
  • Niat
  • Takbir
  • Berdiri
  • Membaca Al Fatihah
  • Rukuk
  • Itidal
  • Sujud
  • Duduk diantara dua sujud
  • Tahiyyad akhir
  • Salam

Beberapa mahzab ada yang menambahkan rukun shalat dengan thu'maninah, tertib dan berurutan, serta sedikit variasi di dalam detail masing-masing rukunnya.



Evaluasi pelaksanaan rukun shalat

Saya tidak akan membahas secara detail masalah rukun shalat disini. Rasanya sudah sangat sering dibahas dan sangat banyak buku-buku yang menulis tentangnya. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk melihat kembali apakah rukun shalat tersebut sudah dilakukan dengan benar?

Pada bab sebelumnya kita sudah membahas masalah niat. Sekarang mari kita lihat rukun yang lainnya lagi.

Coba kita perhatikan rukun shalat di atas. Bacaan apa saja yang dimasukkan ke dalam rukun shalat? Jawabannya adalah Al Fatihah dan tahiyyad akhir (shalawat). Dapat juga ditambahkan dengan takbir dan salam yang juga harus diucapkan. Bacaan lainnya adalah sunnah. Jika dibaca menambah pahala, jika ditinggalkan tidak membatalkan shalatnya.

Jika demikian, apakah yang wajib dilakukan ketika rukuk atau sujud? Pertanyaan ini sederhana saja sifatnya, tapi selama ini banyak yang tidak memperhatikannya sehingga bingung menjawabnya. Jawabnya adalah gerakan rukuk dan sujud itu sendiri. Jika kita tidak membungkukkan dan menyujudkan badan maka shalat kita tidak sah, kecuali jika kita sedang uzur tentunya. Sedangkan bacaan di dalamnya adalah sunnah, tidak dibaca tidak apa-apa. Shalat kita tetap sah.

Coba kita ingat kembali pelaksanaan shalat yang selama ini telah kita lakukan. Manakah yang lebih kita perhatikan ketika kita melakukan rukuk dan sujud? Bacaan atau gerakan? Banyak sekali orang mengira bahwa dia memperhatikan kedua-duanya, tetapi coba kita ingat-ingat kembali : Pernahkah kita memperhatikan apakah gerakan rukuk dan sujud kita telah sempurna? Apakah punggung kita telah lurus sehingga jika diletakkan gelas berisi air tidak tumpah? Apakah kita telah mengamalkan gerakan rukuk dan sujud sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini?

Abu Humaid As-Sa'idi r.a berkata, "Aku mengingat shalat Rasulullah Saw lebih baik daripada siapa pun diantara kalian. Aku melihat Nabi Saw mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya dan mengucapkan takbir, dan ketika rukuk Nabi Saw meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas dua lututnya dan punggungnya membungkuk lurus, kemudian setelah bangkit dari rukuk Nabi Saw berdiri tegak hingga semua tulang punggungnya berada dalam posisi normal. Ketika sujud, Nabi Saw meletakkan kedua (telapak) tangannya di atas tanah dan menjauhkan lengan bagian bawahnya dari tanah dan tubuhnya, dan jari jemari (kakinya) menghadap ke arah kiblat. Ketika duduk pada rakaat kedua, Nabi Saw duduk diatas kaki kirinya dan menyangga kakinya sebelah kanan; dan pada rakaat terakhir Nabi Saw menekan kakinya sebelah kiri kedepan dan menopang kakinya sebelah kanan dan duduk diatas pinggulnya". (1:791 - Shahih Al Bukhari).


Bacaan bukan panglima

Sadar atau tidak sadar, bacaan bagi kebanyakan kita telah menjadi panglima dalam shalat. Cepat-lambat atau panjang pendeknya bacaan telah menentukan lamanya shalat. Perpindahan antara satu gerakan ke gerakan lain dalam shalat ditentukan oleh selesainya bacaan, seolah-olah bacaan menjadi aba-aba dalam shalat. Begitu kita selesai membaca bacaan sujud 3x, maka segera kita bergerak untuk duduk. Begitu selesai menyampaikan 8 permohonan disaat duduk diantara 2 sujud, kita langsung bergerak untuk sujud kembali.

Kebiasaan ini mungkin dilakukan karena mencontoh dari apa yang kita lihat ketika shalat berjamaah. Dalam shalat berjamaah, setelah selesai membaca Al Fatihah dan surat pendek, imam shalat biasanya akan mengucapkan takbir sebagai tanda kita harus rukuk. Kita lalu mengambil kesimpulan, bahwa selesainya bacaan shalat menjadi batas lamanya gerakan shalat yang lainnya. Padahal tolok ukurnya berbeda. Ketika kita berdiri membaca Al Fatihah, bacaannya adalah wajib. Sedang ketika rukuk, itidal, sujud dan duduk, bacaannya sunnah, yang wajib adalah gerakannya.

Mungkin Anda bertanya-tanya, jika bukan bacaan lalu apa yang menentukan lamanya gerakan rukuk, itidal, sujud dan duduk? Marilah kita lihat apa yang diajarkan Nabi ketika memberikan pelatihan shalat secara singkat kepada seseorang sebagaimana hadits dibawah ini.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah: Rasulullah Saw masuk ke dalam masjid dan seseorang mengikutinya. Orang itu mengerjakan shalat kemudian menemui Nabi Saw dan mengucapkan salam. Nabi Saw membalas salamnya dan berkata, "Kembalilah dan shalatlah karena kau belum shalat". Orang mengerjakan shalat dengan cara sebelumnya, kemudian menemui dan mengucapkan salam kepada Nabi Saw. Beliau pun kembali berkata, "Kembalilah dan shalatlah karena kau belum shalat". Hal itu terjadi tiga kali. Orang itu berkata, "Demi Dia yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak dapat mengerjakan shalat dengan cara yang lebih baik selain cara ini. Ajarilah aku bagaimana cara shalat". Nabi Saw bersabda, "Ketika kau berdiri untuk shalat, ucapkan takbir lalu bacalah (surah) dari Al Quran kemudian rukuklah hingga kau merasa tenang (thuma'ninah). Kemudian angkatlah kepalamu dan berdiri lurus, lalu sujudlah hingga kau merasa tenang selama sujudmu, kemudian duduklah dengan tenang, dan kerjakanlah hal yang sama dalam setiap shalatmu". (1:724 - Shahih Al Bukhari).

Jika kita membaca hadits diatas, kita bisa duga, bahwa orang itu sudah mengetahui bacaan dan gerakan-gerakan shalat. Tapi mungkin pelaksanaan dilakukan secara terburu-buru. Karena itu, Nabi tidak lagi mengajarkan bacaan dan dasar-dasar shalat lainnya. Nabi mengajarkan apa yang perlu diperbaiki oleh orang itu. Beliau mengajarkan, bahwa lamanya gerakan shalat, khususnya ketika ruku', sujud dan duduk, bukanlah ditentukan oleh selesainya bacaan, tetapi sampai kita merasa tenang.

Mungkin orang itu sama seperti kita. Kita hafal seluruh bacaan shalat, tahu gerakan-gerakan shalat dan mungkin juga seluk beluk shalat lainnya. Kita merasa shalat kita sudah sempurna seperti yang dicontohkan Nabi. Kita sering tidak sadar, ketika shalat kita sering membaca bacaan dengan cepat agar shalat kita cepat selesai. Ternyata shalat semacam itu dipandang Nabi hanya seperti angin lalu saja. Sia-sia. Diulang berkali-kali pun tidak ada gunanya.


Rukun shalat yang dilupakan

Kesempurnaan gerakan tidak mungkin dicapai jika kita terburu-buru dalam melaksanakan shalat. Gerakan-gerakan shalat harus dilakukan dengan perlahan-lahan dan penuh perasaan. Dalam rukun shalat, hal itu disebut sebagai THUMA'NINAH. Thuma'ninah diartikan sebagai berhenti sebentar dalam setiap gerakan hingga seluruh tulang dan persendian kembali pada posisi yang tepat dan tubuh terasa tenang.

Thuma'ninah sebetulnya termasuk dalam rukun shalat pada sebagian besar mahzab. Ada yang dinyatakan sebagai salah satu rukun, ada pula yang digabung dengan rukun lain. Mahzab Syafi’i yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia menggabungkan thuma'ninah dalam rukun yang lain, seperti rukuk dengan thuma'ninah, sujud dengan thuma'ninah, duduk dengan thuma'ninah. Tetapi karena thuma'ninah bukan merupakan gerakan atau bacaan, maka dia sering dilupakan orang. Padahal sebagai rukun, sebetulnya thuma'ninah tidak boleh ditinggalkan. Shalat tanpa thuma'ninah kira-kira sama dengan shalat tanpa bertakbir atau tanpa membaca Al Fatihah atau tanpa salam. Artinya, shalat tersebut tidak sah!

Berikut ini adalah tabel perbandingan rukun shalat dalam 4 mahzab. 6


*) Digabungkan dengan rukun lainnya



Gerakan yang menghantarkan jiwa

Gerakan tubuh sangat penting untuk menghantarkan hati dan jiwa mencapai ketundukan dan kerendahan dihadapan Allah. Untuk lebih memahaminya mari kita lakukan latihan berikut ini.



Coba bandingkan, manakah yang lebih terasa pasrah? Posisi yang pertama atau yang kedua?
Umumnya orang merasakan posisi yang kedua yang lebih terasa pasrah. Ketika tubuh rileks dan membungkuk, maka akan lebih mudah bagi orang untuk mencapai posisi kepasrahan diri. Sebaliknya, sangat sulit mencapai posisi pasrah atau rendah hati jika tubuh tegang dan dada membusung, sikap tubuh yang biasanya terdapat pada orang sombong dan angkuh.

Sekarang kita lanjutkan dengan lakukan latihan berikutnya.




Coba bandingkan apa yang Anda rasakan. Manakah yang terasa lebih pasrah dan lebih enak, yang menggunakan kata-kata atau yang tanpa kata-kata?
Hampir semua orang yang pernah melakukan Latihan 4 mengatakan, bahwa yang lebih terasa enak adalah yang tanpa kata-kata!

Ketika kita menggunakan kata-kata, otak kiri yang berkaitan dengan logika, hafalan, sekuensial, akan berperan aktif. Ketika kita pasrah tanpa kata-kata, maka otak kiri tidak lagi aktif. Otak kanan yang berkaitan dengan rasa, emosi, acak, yang berperan aktif. Akibatnya lebih terasa enak.

Ketika hati kita pasrah atau tunduk dalam keadaan diam (tanpa kata), maka pikiran kita bergerak mengikuti naluri. Tubuh pun ikut pasrah sehingga otot-otot lebih kendor dan terasa rileks. Jika kepasrahan itu diteruskan dan diikuti dengan sepenuh hati, maka orang akan tersujud dengan sendirinya. Sujud yang bukan dari perintah otak, tetapi sujud yang muncul dari hati yang berserah diri.


Rukuk dan sujud dengan penuh kerendahan

Dari banyak gerakan-gerakan shalat, gerakan rukuk dan sujud adalah yang paling penting. Dalam beberapa ayat di dalam Al Qur'an, rukuk dan sujud kadang digunakan sebagai pengganti kata shalat, misalnya saja surat Al Hajj : 26.


Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud”.

Rukuk dan sujud sedemikian penting, sehingga Nabi memerintahkan untuk menyempurnakannya.

Hadits riwayat Anas bin Malik ra.:
Dari Nabi saw., Beliau bersabda: Sempurnakanlah rukuk dan sujud, demi Allah, sesungguhnya aku dapat melihat engkau di belakangku (kemungkinan bersabda: yang di belakang punggungku) saat engkau rukuk atau sujud. (Shahih Muslim No.644)

Bahkan ketidaksempurnaan dalam melakukan rukuk dan sujud dinilai Nabi seperti orang yang mencuri di dalam shalat, sebagaimana hadits berikut ini.

Dari Qatadah RA, dia berkata,
Rasulullah saw pernah bersabda, "Paling jelek manusia dalam mencuri adalah orang yang mencuri sebagian shalatnya". Ada seorang sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dia mencuri shalatnya?". Rasulullah saw menjawab: "Dia tidak menyempurnakan rukuk shalat itu dan tidak pula menyempurnakan sujudnya".

Rukuk dan sujud sangat penting untuk membantu kita meraih kekhusyu'an. Gerakan rukuk dan sujud akan membantu jiwa mencapai ketundukan dan kerendahan. Sikap tubuh yang membungkuk pada rukuk akan membantu jiwa kita untuk tunduk dan hormat kepada Allah. Demikian pula meletakkan kepala pada posisi yang paling rendah, akan membantu kita untuk merendahkan diri dihadapan Allah. Jika rukuk dan sujud tidak sempurna, maka dapat dipastikan, bahwa jiwa kita belum mencapai ketundukkan dan kerendahan sebagaimana yang diharapkan. Artinya, tidak mungkin meraih kesempurnaan shalat, yaitu turunnya rasa khusyu', rasa tunduk, rendah dan tenang dihadapan Allah.


Sayangnya, justru gerakan rukuk dan sujud ini yang paling banyak salah dilakukan. Pada rukuk, kesalahan yang paling sering terjadi adalah punggung melengkung, kepala menekuk terlalu dalam dan tangan diletakkan di bawah atau diatas lutut. Sedangkan yang sering salah dilakukan orang adalah punggung yang melengkung atau siku jatuh hingga menempel ke lantai.



Untuk melatih gerakan-gerakan rukuk dan sujud yang benar, dapat dilakukan sebagaimana Latihan 5 di bawah ini.





Sempurnakan sujud dan rukuk


Gerakan rukuk dan sujud tidak akan sempurna jika hati kita tidak melakukan hal yang sama. Hati yang tunduk akan mengantarkan seluruh bagian tubuh kita tunduk pula. Hati sedemikian berpengaruhnya bagi tubuh kita, sehingga Nabi mengatakan bahwa jika hati baik maka seluruh tubuh kita akan ikut baik.

“Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging, jika ia baik, maka baiklah jasad seluruhnya; jika ia rusak, maka rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Setelah kita dapat melakukan gerakan rukuk dan sujud dengan baik, kini kita sempurnakan dengan hati yang ikut pula tunduk dan merendah dihadapan Allah sebagaimana latihan di bawah ini.



Dalam latihan tadi, saya mengajak Anda untuk betul-betul merendahkan diri di hadapan Allah. Dalam ketundukan tersebut peran hati dan jiwa sangat penting. Tubuh sekedar mengikuti gerakan jiwa kita. Meskipun demikian, sikap tubuh yang sempurna akan lebih membantu.

_________________
6 Tabel diambil dari http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/7611221508--mana-datangnya-rukun-sholat.htm yang merupakan kutipan dari kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Pada bagian thuma’ninah diubah oleh Penulis berdasarkan buku Fikih Shalat. Kajian berbagai Mazhab. Dr. Wahbah al Zuhaily. Terjemahan Prof. Drs. KH. Masdar Helmy. Penerbit Pustaka Media Utama. Cetakan pertama tahun 2004.

Babak II Kesadaran Berketuhanan

Sebelum kita membahas masalah shalat khusyu' lebih jauh, mari kita mulai latihan kita dengan berdzikir terlebih dahulu dengan menyebut nama Allah sebagaimana latihan di bawah ini.

Setelah selesai berdzikir sebagaimana Latihan 1, apa yang Anda rasakan?
Apakah ada rasa "seerrrr" di dada Anda?
Apakah Anda seperti mau menangis?
Apakah dada Anda terasa seperti bergetar?
Atau malah biasa saja rasanya? Tidak terasa apa-apa.
Simpan dulu jawaban Anda. Mari kita lanjutkan dulu pembahasan kita.


3 golongan manusia

Pada setiap raka’at shalat, kita diwajibkan membaca surat Al Fatihah. Sadar atau tidak sadar, setiap kali kita membacanya, maka pada 2 ayat terakhir kita memohon kepada Allah:

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Seperti apa orang yang diberi petunjuk, orang dimurkai Allah dan orang yang tersesat dapat kita lihat pada surat selanjutnya. Surat Al Baqarah langsung membuka dengan membagi manusia menjadi 3 golongan, yaitu :
􀂃 Orang beriman (Al Baqarah : 2-5)
􀂃 Orang kafir (Al Baqarah : 6-7)
􀂃 Orang munafik (Al Baqarah : 8-20)

Masing-masing dilengkapi dengan ciri-cirinya serta akibat yang akan ditanggung oleh masing-masing golongan manusia tersebut3.

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al Baqarah [2]:2-5).

Orang beriman misalnya, ciri-cirinya adalah percaya kepada yang gaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rejekinya untuk bersedekah/zakat, percaya kepada kitab-kitab suci dan hari akhir. Mereka dinyatakan sebagai orang yang selalu mendapat petunjuk dan beruntung.

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (QS. Al Baqarah [2]:6-7).

Orang kafir cirinya adalah tidak bisa lagi melihat kebenaran. Diberi peringatan atau tidak sama saja karena Allah telah mengunci mata, pendengaran dan hati mereka. Dan bagi mereka siksa yang berat.

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (QS. Al Baqarah [2]:8-9).

Orang munafik dikatakan sebagai orang yang mengaku dia beriman, tapi sebetulnya tidak. Akibatnya, orang munafik ini lebih sulit dikenali. Jika untuk orang beriman hanya perlu menggunakan 4 ayat dan orang kafir hanya 2 ayat, maka untuk orang munafik Al Qur’an memerlukan 13 ayat untuk menjelaskannya. Beberapa cirinya antara lain, mereka biasanya tidak sadar atas keburukan sifatnya sendiri, bahkan merasa dirinya yang lebih benar sehingga dapat menyesatkan orang lain. Mereka merasa lebih pintar dari orang beriman. Mereka suka mengolok-olok orang beriman. Akibat perbuatannya itu, Allah akan mengganjar mereka dengan siksa yang pedih.

Dari 20 ayat pertama di surat Al Baqarah, kita sudah dapat menilai seseorang dan juga diri kita sendiri termasuk pada golongan mana.

Selanjutnya ciri dan penjelasan tambahan untuk masing-masing golongan dapat ditemui pada bagian lain di Al Qur'an. Ciri-ciri yang dijabarkan tersebut akan semakin menambah kejelasan bagi kita untuk menilai setinggi apa keimanan kita saat ini dan sejauh mana kebenaran dari pelaksanaan peribadatan yang telah kita lakukan.

Contoh, jika seseorang mengaku beriman tetapi jarang melakukan shalat 5 waktu, termasuk golongan manakah dia? Salah satu jawabannya, bisa kita lihat di surat An Nisaa' [4] : 142 :

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali

Jika kita malas shalat, shalat karena ingin dilihat orang lain, atau lebih banyak memikirkan hal-hal selain Allah ketika shalat, maka sadarilah, bahwa diri kita telah menunjukkan ciri-ciri orang munafik. Waspadalah …. waspadalah ….. waspadalah.


Mengukur kadar keimanan

Sering kita merasa sudah menjadi orang yang beriman karena sudah masuk Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat atau mempercayai apa-apa yang dinyatakan dalam rukun iman. Padahal keimanan harus dibuktikan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangannya.

Di dalam ayat-ayat Al Qur'an, banyak disebutkan perintah dan larangan yang harus ditaati agar kita menjadi orang yang beriman, misal:
􀂃 Harus berpuasa (Al Baqarah [2]: 183)
􀂃 Harus banyak berdzikir. (Al Ahzab [33] : 41)
􀂃 Harus menjadi saksi yang adil (Al Maa'idah [5] : 8)
􀂃 Dilarang merendahkan orang (Al Hujuraat [49] : 11)
􀂃 Dilarang menyakiti orang yang diberi sedekah (QS Al Baqarah [2] : 264)

Ayat-ayat tersebut, umumnya diawali dengan kata panggilan, "Hai orang-orang yang beriman …". Jika perintah dan larangan tersebut diabaikan, maka bisa dikatakan kita tidak termasuk orang yang beriman, karena kita bukan orang yang terpanggil oleh ayat-ayat itu. Seberapa tinggi tingkat keimanan kita, dapat diukur dengan seberapa lapangnya hati kita mengikutinya. Orang yang tinggi imannya akan melaksanakan perintah dan larangan tersebut dengan senang hati. Mereka yakin, perintah dan larangan tersebut pasti sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri. Selanjutnya, perintah dan larangan tersebut akan menjadi sikap hidupnya sehari-hari. Orang yang lebih rendah imannya akan melaksanakan ayat-ayat tersebut karena takut dosa dan neraka. Dia akan melaksanakan ayat tersebut meskipun terasa tersiksa hidupnya. Sedang orang yang rendah imannya akan menganalisa dan melakukan banyak pertimbangan untung-ruginya, sebelum melaksanakannya. Dia memilih ayat-ayat yang menguntungkannya, seolah-olah dia lebih pandai dari pada Allah dalam mengatur alam semesta.

Selain itu, ada juga ayat-ayat bukan berupa perintah atau larangan, tetapi banyak juga ayat-ayat yang menggambarkan suasana kejiwaan dan sikap orang yang beriman. Ayat-ayat tersebut juga penting kedudukannya dalam Al Qur’an, karena dengan bercermin kepada ayat tersebut, kita juga dapat mengetahui sampai dimana kadar keimanan kita. Apakah diri kita memiliki ciri seperti orang yang dijelaskan dalam ayat-ayat tersebut., misal:

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS Al Ahqaaf [46] : 13)

Salah satu ciri orang beriman adalah tidak pernah merasa khawatir dan tidak pula berduka cita. Hidupnya selalu bahagia. Kebahagiaan itu sudah dirasakan sejak hidup di dunia hingga nanti diakhirat. Mereka sangat percaya kepada firman Allah yang tertulis di Al Qur'an. Mereka percaya, bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tidak mungkin Allah akan merugikan hamba-Nya. Mereka tidak pernah khawatir akan masa depan, karena tahu bahwa Allah telah menjamin rejekinya sejak lahir sampai mati nanti. Ketika masih menjadi bayi yang tidak mampu mengurus diri sendiri, Allah telah mengirimkan kepada kita orang-orang yang menyayangi kita. Memberi makan, memandikan, mengasuh, hingga kita mandiri. Lalu Allah memberikan kepandaian, kekuatan dan rejeki terus menerus hingga menjadi dewasa seperti sekarang ini. Setelah kita hidup dan menikmati rejeki dari Allah, kenapa kita masih saja tidak percaya bahwa Allah Maha Pemberi Rejeki?

Ketika terjadi musibah, orang beriman tidak berduka yang berkepanjangan. Mereka sabar dan tenang menghadapinya. Mereka percaya, bahwa ini adalah ketetapan yang terbaik dari Allah SWT, karena Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Karena itu mereka menunggu dengan penuh harapan, kebaikan apa yang akan Allah berikan setelah musibah ini berlalu.

Dengan melihat ayat itu, maka jika kita selalu khawatir akan apa akan terjadi atau terlalu sedih dan menyesali terhadap sesuatu yang telah terjadi, hal itu menandakan ada sesuatu yang salah dalam keimanan kita. Kita belum sepenuhnya percaya, bahwa Allah mampu mengatur alam semesta dengan sempurna.

Sekarang marilah kita melihat lagi salah satu ciri dari orang yang beriman yang disebutkan dalam Al Qur’an :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS : Al Anfaal [8]:2).

Berdasarkan ayat tersebut, salah satu ciri orang beriman adalah jika disebut nama Allah maka hatinya akan bergetar. Apa yang Anda rasakan ketika melakukan Latihan 1 tadi? Apakah hati Anda bergetar? Mudah-mudahan Anda merasakannya.

Dari pengalaman saya mengajak orang melakukan Latihan 1, sangat sedikit sekali yang merasakan dadanya bergetar. Beberapa merasakan "seeerrr", ingin menangis atau merasa ketenangan. Sebagian besar tidak merasakan apa-apa. Apakah mereka yang tidak merasa apa-apa artinya tidak beriman? Bagaimana dengan Anda?

Saya yakin, bahwa Anda yang membaca tulisan ini termasuk orang yang beriman. Tapi kenapa tanda-tanda orang beriman tidak muncul ketika kita menyebut nama Allah? Apakah hati kita telah sekeras batu? Atau kita termasuk orang munafik?

Mari kita lihat dimana letak permasalahannya.


Dzikirlah sebanyak-banyaknya

Ketika tadi Anda berdzikir, manakah yang lebih diperhatikan : hitungannya atau Allah-nya?.
Seringkali kita tidak sadar, ketika berdzikir, kita terlalu memperhatikan jumlah hitungan yang harus dicapai. Seolah-olah jumlah hitungan itu sangat penting sehingga kalau meleset, gugurlah pahala dzikir kita. Kita menjadi lupa, bahwa tujuan berdzikir adalah untuk mengingat Allah bukan menghitung bacaan.

Saya tidak menampik banyak hadits yang mengajarkan kita untuk berdzikir dalam jumlah tertentu. Ada yang hanya 3 kali, 33 kali, 100 kali, atau bilangan lainnya, tetapi Al Qur'an menganjurkan lebih dari itu :

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS : Al Ahzab [33] : 41).


Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. (QS : An Nisaa' [4]:103)

Kesemuanya mengajarkan dzikir tanpa hitungan, sebanyak-banyaknya dan setiap saat. Salahkah Rasulullah mengajarkan hitungan? Tentu tidak. Seperti halnya tidak bersalahnya orang tua kita, yang pada waktu kita masih kecil, menyuruh kita berpuasa setengah hari lamanya. Semuanya semata-mata agar kita belajar dan segera memulai perbuatan baik yang diperintahkan Allah. Selanjutnya harus tahu dan berusaha mencapai target sesungguhnya yang Allah ajarkan.


Sang pencipta langit dan bumi bernama Allah

Ketika Anda menyebut nama Allah, kemanakah pikiran Anda menuju?

Nama adalah sebuah simbol dari pemiliknya. Ketika kita menyebut kata “SBY” maka pikiran kita langsung mengarah kepada sosok gagah berwibawa, yang jika berbicara tutur katanya tertata dengan baik, yang menjadi Presiden RI. Ketika kita menyebut kata “ibu”, maka pikiran kita langsung mengarah kepada wanita yang melahirkan kita, melindungi dan menyayangi kita. Wanita yang mengurus dan mendidik kita ketika kita masih kecil. Tetapi ketika menyebut nama Allah, kita menjadi bingung dalam membayangkan “sosok” Tuhan.

Ketika kita menyebut nama Allah, tidak perlu kita membayangkan sosok Allah, karena kita tidak akan mampu melakukannya. Allah tidak serupa dengan apapun juga, maka apapun yang kita bayangkan mengenai wujud Allah pasti salah. Cukup sadari saja, bahwa yang kita panggil atau sebut nama-Nya itu adalah nama Dzat pencipta langit dan bumi. Dialah Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang memberi kita hidup lalu memberi kita rejeki sepanjang hidup kita. Tuhan yang sangat berkuasa, bahkan setelah kita mati sekalipun. Dialah yang menetapkan siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang dikirim ke neraka.

Saya ingin memberikan gambaran yang lebih jelas untuk memperbandingkan siapa Allah dan siapa kita ini agar kesadaran kita menjadi lebih terbuka.

Andaikan bumi ini sebesar buah jeruk, maka manusia tak lebih besar dari debu-debu halus atau sel kulit. Kita naikkan skala perbandingannya. Jika matahari sebesar jeruk, maka bumi kira-kira hanya sebesar butiran nasi. Manusia, mungkin tak lebih besar dari molekul yang membentuk kulit jeruk. Kita naikkan lagi skala perbandingannya. Jika galaksi Bima Sakti memiliki diameter sebesar jeruk, maka matahari hanyalah sebesar debu. Bumi mungkin sebesar sel-sel kulit jeruk. Manusia hanyalah seperti elektron-elektron. Kita naikkan lagi skala perbandingannya lebih jauh lagi. Jika alam semesta ini yang kita kenal sekarang ini sebesar ruang keluarga Anda, maka galaksi hanya sebesar debu atau pasir. Matahari hanyalah seperti bakteri atau virus yang berterbangan di udara. Bumi mungkin hanyalah sebesar atom oksigen. Manusia? Masihkah manusia bisa disebut sebagai ada? Kita tidak ada apa-apanya di alam semesta ini, sementara Allah Sang Pencipta lebih besar dari alam semesta itu sendiri.




Sekarang setelah kita sadar kekeliruan kita dalam berdzikir dan setelah sadar seberapa besarnya diri kita dan betapa besarnya Allah, marilah kita ulangi lagi apa yang telah kita lakukan di latihan sebelumnya sebagaimana di bawah ini.






Sekarang apa yang Anda rasakan?

Mudah-mudahan Anda merasakan getaran atau "sesuatu" di dalam dada sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah. Mudah-mudahan Anda tidak termasuk sebagaimana orang yang disebutkan dalam surat Al Hujuraat [49] : 14 dibawah ini.

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Berbuat dengan penuh kesadaran

Bagi yang bisa merasakan perbedaannya, mari kita evaluasi kenapa bisa terjadi perbedaan antara Latihan 1 dengan Latihan 2?

Pada Latihan 2 kita melakukannya dengan penuh kesadaran. Kita sadar, siapa yang namanya kita sebut. Karena kita sadar, kita jadi mengerti bagaimana kita harus bersikap dan mengamati apa yang sedang terjadi terhadap apa yang kita lakukan. Kesadaran seperti itu biasa disebut sebagai NIAT.

Niat menurut syara' adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan4. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan niat ada sepanjang perbuatan tersebut dilakukan. Niat dalam shalat bukan sekedar mengucapkan "ushalii". Bahkan mengucapkan "ushalii" bukan merupakan bagian dari shalat. Shalat menurut definisi syar'i adalah ibadah yang terdiri dari rangkaian bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam5. Sementara itu, mengucapkan "ushalii" terletak sebelum takbir, artinya diluar kegiatan shalat. “Ushalii” hanya sekedar bacaan yang membantu mengingatkan kita agar kita melakukan shalat dengan penuh niat, dalam arti sungguh-sungguh menghadapkan diri ke Allah sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.

Niat dalam shalat harus ada sepanjang shalat tersebut dilakukan, sejak takbir sampai dengan salam. Jadi takbirlah dengan niat, bacalah Al Fatihah dengan niat, rukuk-lah dengan niat, dan seterusnya sampai dengan salam. Artinya ketika takbir kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang mengagungkan kebesaran Allah. Ketika membaca Al Fatihah, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang memulai berkomunikasi dengan Allah. Ketika kita rukuk, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang menundukkan diri di hadapan Allah SWT. Demikian seterusnya kita selalu melakukan gerakan dan bacaan shalat dengan penuh kesadaran hingga kita mengucapkan salam untuk menebarkan keselamatan ke sekeliling kita.



________________
3 Bahan Pengajian Ar-Rahman pimpinan ustad Bahtiar Nasir kelas Basic 1
4 Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar, Fiqih Niat, terjemahan bahasa Indonesia oleh Faisal Saleh, LC. Gema Insani. Cetakan I tahun 2006. Halaman 12.
5 Ibid



Shalat Khusyu' Itu Mudah

Suatu siang, Hj. Aliyah (almarhumah) datang ke rumah untuk mengajar mengaji bagi istri saya dan beberapa temannya. Kebetulan hari itu saya sedang ijin kantor untuk masuk siang karena ada suatu keperluan. Kebetulan pula, Beliau sudah beberapa kali ingin bertemu saya untuk menanyakan masalah shalat khusyu' yang setiap bulan diajarkan ustadz Abu Sangkan di Islamic Center Bekasi, ketika itu. Karena Beliau adalah seorang ustadzah yang sudah banyak mengerti hakikat dan aturan shalat, maka tidak banyak hal lagi yang saya sampaikan. Saya hanya meneruskan apa yang saya ingat dari apa yang pernah disampaikan ustadz Abu Sangkan, terutama bagaimana kita bersikap dan berdialog dengan Allah ketika kita shalat. Tidak lama, hanya sekitar 15 menit, tapi terasa Beliau langsung "nyambung" dengan yang saya sampaikan. Setelah itu, saya ajak Beliau shalat Dhuhur berjamaah. Dalam shalat itu, sengaja saya panjangkan setiap gerakan shalat, terutama rukuk dan sujud. Tak lama setelah selesai shalat dan berdzikir sejenak, dengan badan agak gemetar, Beliau berkata: "Kok cepat betul shalatnya?". Saya hanya tersenyum sambil melihat ke jam dinding dan mengatakan: "Maaf saya tidak bisa lebih lama lagi karena harus segera ke kantor, tapi tadi kita sholat selama hampir 20 menit". "Ah … yang betul?", kata Beliau tak percaya. “Bagaimana rasanya Bu?”, tanya saya. “Kalau nggak karena malu, saya sudah nangis sekarang”, jawabnya.

Pada waktu lainnya, ketika bertugas ke Semarang, saya sempatkan mampir ke rumah mendiang nenek saya. Ketika azan Magrib berkumandang, saya pun pergi ke mesjid As-Salam yang ada di seberang rumah. Oleh imam mesjid tersebut, saya diminta untuk menjadi imam sholat. Mungkin ingin menghormati kedatangan saya di sana. Sebetulnya saya agak segan menerimanya. Selain bacaan Al Qur’an saya kurang fasih, aksennya terlalu “Indonesia”, juga karena saya khawatir tempo sholat saya yang agak lama akan membuat jamaah menjadi tidak nyaman. Apalagi ditambah dengan suasana desa yang sejuk dan tenang. Karena itu sebelum shalat dimulai, saya memberikan sedikit pengantar yang kira-kira kalimatnya seperti dibawah ini.

"Maaf, saya kalau shalat agak lama. Bukan bacaannya yang panjang, hanya sekedar ingin mempraktekkan thuma’maninah. Ketika rukuk, saya tidak buru-buru membaca, tapi saya tundukkan dulu pikiran saya, hati saya dan jiwa saya. Setelah semua terasa tunduk, baru saya memuji Allah - subhaana rabbial azimi wa bihamdihi. Demikian pula ketika sujud. Saya sujudkan pikiran, hati dan jiwa saya. Setelah semua terasa bersujud, merendah kepada Allah, baru saya tinggikan Allah – subhaana rabial a'la wa bihamdihi. Ketika duduk diantara dua sujud, saya sampaikan permohonan saya kepada Allah dengan rendah hati dan satu per satu".
Lalu saya pun memimpin shalat dengan tenang. Setelah selesai shalat dan berdzikir sejenak, saya melihat beberapa orang di shaf depan masih tetap tertunduk dalam, tak mampu segera bangkit untuk mengubah posisi duduk tahiyyad akhirnya.

Kedua peristiwa tersebut semakin meyakinkan saya bahwa khusyu’ adalah bukan sesuatu yang mustahil bagi kita manusia awam, bahkan suatu yang mudah diperoleh.


Kegagalan meraih khusyu’

Selama ini, kita selalu berpendapat bahwa khusyu’ itu sangat sulit dicapai. Ketika shalat, pikiran sering pergi kemana-mana. Karena itu, lalu muncullah cara mengatasinya yaitu dengan konsentrasi. Konsentrasi pikiran seolah-olah telah menjadi kunci mencapai khusyu’. Maka tidak mengherankan jika pelajaran shalat khusyu' pada umumnya ditujukan untuk membantu mengarahkan konsentrasi pikiran, seperti misalnya melihat titik di tempat sujud, menerjemahkan bacaan, menghadirkan Allah, dan lain-lain.

Cara-cara tersebut terlihat meyakinkan, tetapi kenyataannya tidak memberi terlalu banyak manfaat. Melihat tempat sujud membantu agar pandangan kita tidak melirik kekiri dan kanan, tetapi tidak mampu menahan pikiran kita yang suka melompat ke kiri dan kanan. Jika khusyu’ dapat diperoleh dengan mengerti arti bacaannya, ketika saya pergi ke Mekkah, ternyata orang-orang Arab pun terlihat tidak lebih khusyu’ daripada kita. Ada yang matanya melirik ke kiri-kanan, ada yang sibuk merapihkan tutup kepalanya, dan lain-lain. Padahal mereka tentu mengerti arti bacaannya. Mencoba “menghadirkan” Allah, malah menambah kebingungan kita sendiri. Di dalam Al Qur’an dinyatakan, bahwa Allah tidak bisa diserupakan apapun juga (QS Asy Syuura [42] : 11). Jadi apapun yang kita bayangkan mengenai wujud Allah, maka itu pasti salah. Anehnya, cara-cara tersebut, meskipun terbukti gagal sebagai metoda mencapai khusyu', tetapi terus-menerus diajarkan oleh orang tua ke anaknya, oleh guru ke muridnya, demikian dari generasi ke generasi. Agak konyol memang.

Ketika usaha khusyu’ melalui konsentrasi gagal, maka muncullah persyaratan-persyaratan lain. Ada yang mengatakan, bahwa untuk khusyu’ kita harus suci, bersih dari perbuatan dosa. Persyaratan ini sempat pula membuat saya pesimis, karena ternyata banyak ustadz-ustadz yang saya kenal secara pribadi sebagai orang yang shaleh, bisa berbahasa Arab, tinggi ilmu agamanya, ternyata mengalami masalah pula dengan shalat khusyu’. Kalau mereka saja yang tinggi ilmu agamanya, banyak berdzikir dan menjaga perbuatannya saja sering tidak khusyu’, bagaimana dengan saya?


Mendadak khusyu'

Mungkin telah banyak usaha dan cara untuk khusyu’ telah kita lakukan tetapi tetap saja tidak berhasil. Anehnya, tiba-tiba kita bisa mendadak khusyu'. Ketika kita tertimpa musibah yang hebat, tiba-tiba saja kita bisa shalat dengan khusyu' lalu berdoa sambil mengucurkan air mata.

Padahal ketika itu, kita justru lupa dengan segala macam teori mengenai shalat khusyu'. Kita shalat tanpa berkonsentrasi, kita juga lupa memperhatikan titik ditempat sujud, tapi hati dan pikiran kita tidak pernah lepas mengarah ke Allah. Kita tetap belum sepenuhnya memahami arti bacaan dalam bahasa Arab, tapi kita merasa bisa berdialog dengan Allah. Kita lupa untuk “menghadirkan” Allah, tapi malah terasa Allah begitu dekat. Ketika itu, dosa kita tidak lebih sedikit dari sebelumnya, malah mungkin kita baru saja melakukan perbuatan dosa besar sehingga kita sangat menyesal, tapi terasa Allah menyambut shalat dan doa kita. Saat ketika kita tidak menggunakan ilmu khusyu’, saat itu justru kita bisa shalat dengan khusyu'. Keadaan ini bisa terjadi kepada siapa saja, dari mahzab dan aliran apa saja, kepada ulama atau orang yang awam ilmu agamanya, cendikiawan atau orang yang kurang berpendidikan, orang kaya atau orang miskin, bahkan kadang kepada orang yang jarang shalat sekali pun.


Apa gerangan yang membuat itu bisa terjadi?

Salah satunya adalah sikap dalam menghadap kepada Allah. Ketika kita tertimpa musibah, maka kita datang kepada Allah dengan merendahkan diri, sungguh-sungguh mengharapkan pertolongan Allah. Kita menjadi tersadar, hanya Allah-lah yang dapat mengatasi masalah kita dan mengabulkan doa kita. Sebaliknya ketika kita sedang jaya, tidak kekurangan suatu apapun, sikap itu sudah tidak ada lagi. Biasanya kita shalat dan doa hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Seolah-olah Allah-lah yang membutuhkan shalat dan doa kita.

Musibah diturunkan tidak lain agar kita selalu datang dengan merendahkan diri kepada Allah. Sikap yang akan membuat kita khusyu'. Sayang kita selalu lalai terhadap pelajaran yang Allah berikan kepada kita itu, meskipun Allah telah memberikannya berkali-kali.

Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu." (QS Az Zumar [39] : 8).

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. (QS Al An'aam [6] : 42).

Dan tidaklah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? (QS At Taubah [9] : 126).

Peka dan tanggap lingkungan

Banyak orang mendefinisikan khusyu’ dengan menggunakan acuan peristiwa Syaidinna Ali ketika kakinya terkena anak panah. Ketika anak panah tersebut akan dicabut Beliau mengerang, tak kuat menahan sakit sehingga para sahabat tak tega mencabutnya. Lalu Beliau shalat dengan khusyu’. Dan ketika shalat itu, anak panah dapat dicabut tanpa Syaidinna Ali merasakan kesakitan.

Peristiwa tersebut sangat popular dan memberikan kesan yang kuat bahwa salah satu tanda shalat yang khusyu’ adalah seseorang tidak lagi merasakan sakitnya luka. Seolah-olah ketika shalat dengan khusyu’, kita bisa lepas dari alam dunia. Tidak merasakan apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa lagi. Kesan ini diperkuat lagi oleh cerita tentang satria yang sedang bersemedi didalam kisah perwayangan. Diganggu jin dan gendruwo tidak gentar, dikelilingi binatang buas diam saja, dirayu bidadari cantik tidak tergoda. Tahan tidak makan dan minum berhari-hari lamanya. Apakah shalat khusyu’ harus seperti itu? Siapa orang yang paling khusyu' shalatnya di dunia ini? Pasti kita sepakat, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling khusyu' shalatnya. Marilah kita melihat bagaimana Rasulullah melakukan shalatnya.
  • Ketika Nabi sedang memimpin shalat, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil. Beliau pun mempercepat shalatnya, takut terjadi sesuatu dengan anak itu.
  • Ketika sedang shalat, Nabi melihat ada binatang berbisa mendekat. Beliau pun menghentikan shalat untuk membunuh binatang tersebut, lalu meneruskan kembali shalatnya.
  • Pada suatu saat, setelah selesai shalat berjamaah, Nabi tidak berdzikir sebagaimana biasanya, tetapi segera bergegas pulang. Ketika telah kembali ke masjid, Beliau ditanya oleh sahabatnya mengenai ketergesaan itu. Beliau mengatakan, bahwa ketika shalat Beliau ingat ada sedekah yang belum dibagikan. Karena itu, Beliau segera pulang agar dapat membagi sedekah tersebut secepatnya.
  • Ketika sedang berperang, Nabi mengajarkan shalat khauf. Shalat berjamaah yang dilakukan dengan cara yang unik karena harus tetap dalam kondisi siaga terhadap serangan musuh.

Dari beberapa riwayat tersebut, ternyata ketika shalat, Nabi selalu peka dan tanggap kepada lingkungannya. Beliau tetap mendengar dan melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Lintasan-lintasan pikiran pun tetap ada ketika Beliau shalat. Bahkan jika ada masalah, Beliau mengajarkan kepada kita untuk shalat sunnat 2 rakaat. Artinya, ketika shalat, Beliau bukan melupakan suatu masalah, tetapi malah sengaja membawa masalah tersebut dalam shalatnya untuk disampaikan kepada Allah agar diberikan jalan keluarnya. Apa yang Beliau ajarkan sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam Al Qur'an :

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al Baqarah [2] : 153)

Khusyu’ menurut Al Qur'an

Kita sering mengasosiakan khusyu' dengan kontemplasi, semedi atau meditasi yang biasa dilakukan dalam praktek ritual agama lain. Kita menjadi lupa untuk menggali bagaimana Al Qur'an menjelaskan mengenai khusyu' itu.

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS Al Baqarah [2] 45-46).

Dari kedua ayat tersebut, dapat disimpulkan khusyu' bukanlah konsentrasi, tetapi keyakinan sedang menghadap Allah.

Keyakinan sangat mempengaruhi sikap seseorang. Orang yang yakin di pohon kamboja ada hantunya, maka dia akan ketakutan jika malam-malam lewat di bawahnya. Sebaliknya, jika orang tersebut berkeyakinan pohon kamboja adalah pohon yang indah, maka orang tersebut justru menemukan kesenangan di bawahnya. Dia akan memungut bunga-bunga yang berguguran untuk diselipkan ditelinga, dibuat rangkaian bunga atau diletakkan mengapung diatas kolam air.
Sebetulnya, kata yang sering diterjemahkan sebagai “yakin” pada ayat di atas bukanlah berasal kata “yaqin” tetapi dari berasal kata “zon” - yazunnuuna. Zon sebetulnya lebih sering diterjemahkan sebagai “sangkaan” sebagaimana halnya kata “husnuzon” dan su’uzon”. Ada pula mengartikan sebagai “menduga dengan kuat”. Yang pasti, tingkat keyakinan atau kepastian akan terjadinya sesuatu yang menggunakan kata “zon” berada dibawah kata “yaqin”. Jika kata “yaqin” bisa dikatakan 90%-100% sesuatu itu akan terjadi, maka kata “zon” tingkat kepastiannya mungkin hanya sekitar 70%-90% 1.

Dalam tata bahasa Arab, berdasarkan waktu berlangsungnya suatu kegiatan, kata kerja terdiri dari 2 bentuk, yaitu fi'il maadhi dan fi'il mudhaari'. Fiil maadhi merupakan kata kerja bentuk lampau (past) sedang fiil mudhaari’ adalah kata kerja untuk kegiatan yang sedang berlangsung saat ini (present continuous), masa depan (future) dan juga untuk kegiatan yang berulang-ulang. Kata kerja yang ada pada surat Al Baqarah ayat 46, yaitu "yazunnuu" menggunakan fi'il mudhaari'.

Kata “menemui” (mulaaquu) dan “kembali” (raaji’uun) adalah kata pelaku dari kegiatan tersebut (isim fa’il), sama dengan kata “orang-orang yang khusyu’ “ (khaasyi’uun). Kata ini tidak menunjukkan kapan waktu kegiatan tersebut dilakukan. Bisa lampau, sekarang ataupun yang akan datang. Kebanyakan terjemahan Al Qur'an dalam bahasa Indonesia, memilih menterjemahkannya “khaasyi’uun” (orang yang khusyu’) tanpa menggunakan kata “akan”, sedang kata “muulaquu” (orang yang menemui) dan “raaji’uun” (orang yang kembali) dengan tambahan kata "akan" (masa yang akan datang). Salah satu pertimbangannya "menemui Tuhan" dan "kembali kepada-Nya" hanya mungkin terjadi "nanti" di akherat. Jika demikian, lalu ketika shalat kepada siapa dia menghadap?.

Dalam beberapa hadits, tampak bahwa Nabi menjaga sikapnya ketika sedang shalat. Beliau berpendapat ketika shalat sesungguhnya orang sedang berhadapan dengan Allah, seperti halnya ketika Beliau mi’raj. Karena itu, Beliau melarang orang yang sedang shalat meludah ke depan, memberi tanda batas tempat shalatnya (sutrah) dan mencegah orang melewatinya.

Allah Ta'ala tetap (senantiasa) berhadapan dengan hambaNya yang sedang shalat dan jika ia mengucap salam (menoleh) maka Allah meninggalkannya. (HR. Mashobih Assunnah)

Nabi juga telah mengajarkan caranya agar kita dapat “menemui” dan “kembali” kepada Allah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Al Baqarah 46. Petunjuknya dikemas ringkas dalam doa iftitah yang dibaca setelah takbiratul ihram. Jadi ketika kita baru memulai shalat, kita selalu diingatkan Beliau tentang apa yang harus dilakukan di dalam shalat agar kita menjadi orang yang khusyu’.

Aku hadapkan wajahku kepada wajah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri .

Sesungguhnya ibadahku, shalatku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam ..

Kita hanya perlu memiliki sangkaan/keyakinan sehingga bisa bersikap untuk menghadapkan diri kita kepada Allah dengan sadar dan rela mengembalikan seluruh jiwa raga kita kepada Allah. Karena itu, menurut saya, lebih tepat jika arti khusyu’ dalam Al Baqarah ayat 46 diatas diterjemahkan sebagai :

Orang-orang yang (bersikap) seolah-olah, mereka sedang menemui Tuhannya, dan seolah-olah mereka sedang kembali (berserah diri) kepada-Nya.

Kata khusyu' sendiri disebutkan di dalam Al Qur'an pada 16 ayat 2. Makna bahasanya berkisar pada hina/menunduk, rendah/ tenang, ketakutan, kering/mati, seperti:

1. Hina dan menunduk
"Banyak muka pada hari itu tunduk terhina". (QS. Al Ghaasyiyaah [88]:2).
"Pandangannya tunduk". QS. (An-Naazi'aat [79]: 9).
"Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan" QS. (Al Qamar [54]: 7).

2. Rendah dan tenang
". Dan merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja". (QS. (Thaahaa [20]: 108).

3. Merendahkan dan menundukkan diri
"Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir". (QS. Al Hasyr [59] : 21).
"(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera". (QS. Al Qalam [68] : 43).

4. Kering dan mati
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaaan-Nya (ialah) bahwa engkau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air diatasnya, niscaya ia bergerak dan subur". (QS. Fushshilat [41]: 39).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, maka untuk mendapatkan rasa khusyu’ kita hanya perlu bersikap seolah-olah ketika shalat kita sedang berhadapan dengan Allah dan berserah diri kepada Nya. Sikap yang patut kita lakukan ketika menghadap Allah adalah tenang, menundukkan pandangan dan merendahkan diri serendah-rendahnya. Sikap yang sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba yang hina dihadapan Tuhan semesta alam, Tuhan Yang Maha Agung. Seperti sikap bumi yang kering kerontang dimusim kemarau mengharapkan pertolongan dari Allah swt dalam bentuk curahan hujan agar dapat kembali subur makmur.


Siapkan diri untuk khusyu'

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak Anda untuk memahami teori dasar mengenai shalat khusyu’ dan melatih sikap-sikap yang diperlukan ketika kita shalat. Latihan-latihan yang ada di dalam buku ini sangat penting untuk dilakukan. Rangkaian kata dan kalimat pada tulisan tidak akan mampu menjelaskan dengan baik apa yang saya rasakan. Dengan melakukan latihan, diharapkan Anda dapat merasakan suasana-suasana khusyu’ yang diperoleh dari sikap-sikap tersebut sehingga akan lebih memahami apa yang saya utarakan. Seperti halnya jika kita ingin menjelaskan rasanya durian kepada orang Rusia yang belum pernah makan buah durian sama sekali. Peluang terjadinya perbedaan persepsi sangat besar karena keterbatasan perbendaharaan kata, perbedaan idiom dan perbedaan pengetahuan. Rasa buah durian menjadi mudah dipahami dan tidak ada perbedaan persepsi, jika kita meminta dia untuk ikut memakannya. Karena itu, latihan harus dilakukan pada tiap-tiap tahapan sebelum Anda melanjutkan bacaannya. Jangan dilewatkan begitu saja. Latihan-latihan tersebut dilakukan di luar shalat. Setelah kita paham bagaimana melakukannya, maka kita tinggal membawanya dalam shalat. Tidak ada dalil ataupun teori baru yang melandasi latihan-latihan tersebut. Saya yakin Anda pernah mendengarnya, hanya mungkin jarang dipraktekkan dalam shalat.

Tulisan ini akan lebih berdaya guna jika Anda dapat menyelesaikan seluruh bacaan dan latihannya dalam satu kesempatan sekaligus. Karena itu, lakukanlah persiapan sebelum membaca halaman-halaman berikut ini. Luangkan waktu sekitar 2 jam, kenakan pakaian yang bersih dan carilah tempat yang tenang sehingga Anda dapat melakukannya dengan baik. Sebaiknya Anda berwudhu dulu, sehingga setelah selesai membaca, Anda dapat langsung mencobanya dengan melakukan shalat sunnah.

Mudah-mudahan Allah berkenan menurunkan rasa khusyu' itu kepada kita semua.


________________
1 Bahan Pengajian Ar-Rahman pimpinan ustad Bahtiar Nasir kelas Basic 2.
2 Syaikh Mu'min Al Haddad, Khusyuk Bukan Mimpi. Terjemahan Ahmad Syakirin, MA. Penerbit Aqwan, Cetakan III tahun 2008

Prakata

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.


Berangkat dari keinginan untuk sebanyak mungkin mencegah perbuatan keji dan mungkar, saya pun ikut aktif membantu guru saya, ustadz Abu Sangkan, dalam menyebarkan shalat khusyu’. Lebih lanjut, saya memberanikan diri untuk membuka pintu rumah bagi orang-orang yang datang untuk mempelajari shalat khusyu’. Saya sendiri sebetulnya tidak memiliki ilmu agama yang memadai. Belum pernah mengikuti pesantren, pengetahuan agama saya peroleh dari membaca dan mengikuti beberapa kegiatan pengajian. Saya juga bukan orang yang pandai berbicara. Saya adalah orang yang sering tergagap-gagap dan cepat kehabisan bahan jika harus berbicara sendiri. Untunglah, orang-orang yang datang ke rumah umumnya adalah para “pencari” sehingga berbagi pengalaman spiritual dengan mereka menjadi pembicaraan yang mengasyikan.


Pelahan tapi pasti, melalui tahap trial and error yang cukup panjang, akhirnya saya mulai menemukan format pelatihan shalat khusyu’ yang ringkas untuk diterapkan di rumah. Kegiatan halaqah akhirnya terselenggara secara rutin setiap Jum'at malam di rumah pun. Pelatihan tersebut merupakan kompilasi atas pemahaman saya dari pelajaran shalat khusyu’, makrifat dan hakekat yang telah saya terima dari ustadz Abu Sangkan. Keterbatasan kemampuan bicara, ilmu agama dan waktu, membuat saya harus memilih dan meracik pelajaran-pelajaran tersebut agar sesuai dengan kemampuan yang saya dalam menyampaikannya ke orang lain.


Dalam pertemuan pertama, biasanya saya hanya mengajarkan bagaimana kita bersikap ketika datang menghadap Allah. Saya hanya menggunakan dalil yang sudah diketahui bersama, yaitu rukun shalat. Ayat Al-Qur’an, hadits dan ketentuan fikih lainnya yang saya sampaikan, bisa dikatakan hampir semua orang sudah pernah mendengarnya. Saya hanya mengajak orang untuk memahaminya dari sisi yang berbeda lalu mencoba mempraktekkannya bersama dan merasakan perbedaan hasilnya. Karena itu, saya memberikan porsi yang cukup besar kepada latihan-latihan. Agar dengan penjelasan yang sedikit, orang sudah dapat memahami apa yang saya maksudkan tanpa perlu menjelaskannya secara panjang lebar.


Alhamdulillah dengan cara-cara tersebut, dalam pertemuan pertama yang memakan waktu sekitar 1,5 - 2 jam, umumnya orang telah mulai memahami dasar-dasar shalat khusyu' dan merasakan nikmatnya shalat berjamaah yang dilakukan setelah latihan. Selanjutnya shalat mereka mulai berubah. Shalat khusyu' mulai dapat dilakukan sendiri meskipun mungkin belum stabil dan durasinya pendek.


Dalam kesempatan ini, saya mencoba menuliskan materi pelatihan shalat khusyu’ yang biasanya saya sampaikan tersebut, termasuk latihan-latihan yang perlu dilakukan.


Membaca tulisan tentu berbeda dengan mengikuti pelatihan secara langsung. Dalam pertemuan langsung, saya bisa melihat langsung respon peserta dan memberikan koreksi apabila ada kesalahan dalam praktek. Dan yang lebih penting, memberikan motivasi untuk mencapai ketundukan hati jiwa yang diperlukan dalam shalat khusyu’. Karena itu, self motivation dalam bentuk keinginan yang kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kesungguhan dalam melakukan latihan-latihan yang ada dalam buku ini sangat penting untuk dapat memahami apa yang saya sampaikan. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan dapat mudah diikuti dan bermanfaat kita semua.


Jika ada komentar atau kesalahan dalam terhadap tulisan ini, mohon dapat menyampaikannya melalui email : mardibros@gmail.com. Mungkin tidak semua email sempat saya balas, harap maklum. Anda juga dapat mengikuti diskusi shalat khusyu' di milis Dzikrullah dengan mendaftar di http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah atau melalui http://www.dzikrullah.com/. Dapat pula bertanya dan mengikuti tuntunan langsung dengan mendatangi halaqah-halaqah shalat khusyu’ yang sebagian alamatnya ada di bagian belakang buku ini.


Selamat membaca.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
mardibros

Kata Pengantar Abu Sangkan

Sekilas saya rasakan, buku ini seolah mengajak dan menuntun untuk merasakan, bukan memikirkan!! Ketika rukuk dan sujud, terasa sekali ketenangan ruas-ruas tulang dan otot menjadi rileks. Ketika mengucapkan tasbih dengan penghayatan dan seolah memberikan pujian dihadapan Allah dengan sesungguhnya. Terasa sekali desiran hati akan sentuhan kalimat tayyibah menyusup dengan jelas. Sungguh sajian yang menarik untuk dimiliki dan dirasakan secara langsung.

Kalau masih mempunyai hobbi berdebat lalu mencari kesalahan dan mencari pembenaran atas aliran-aliran fikih dalam Islam, disarankan jangan baca buku ini. Karena saya pikir, khusyu’ itu tidak hanya dimiliki oleh satu aliran fikih saja. Akan tetapi, bisa dirasakan oleh siapa saja yang meyakini akan pertemuannya dengan Allah dikala berdiri shalat. Apapun jalan syariatnya, yang penting sesuai dengan nash yang sudah disepakati oleh jumhur ulama salaf maupun khalaf dan semuanya mengacu kepada hadist Nabi:

Shallu kama raitumuuni ushalli
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat..

Saya sangat appreciate, atas diterbitkannya buku saudara Mardibros. Karena untuk menjalankan shalat yang khusyu’, tidak harus menjadi ahli dalam bidang agama yang luas. Sebagaimana orang yang hendak menunaikan ibadah zakat , haji ataupun berpuasa. Ilmu yang diperlukan hanya sekitar hukum-hukum fikih, zakat, haji dan puasa. Disamping itu, hanya diperlukan sebuah keyakinan adanya Allah yang sangat dekat. Kalau keyakinan itu ada, tidaklah mungkin orang yang meyakini adanya Allah yang Maha Melihat, lalu shalatnya terburu-buru. Kalau dia meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui gerak-gerik hati setiap hamba-Nya, tidak mungkin shalatnya tidak serius.

Masihkah masalah shalat khusyu’ menjadi persoalan yang harus diperdebatkan dan diberikan alasan bermacam-macam. Hanya gara-gara tidak serius atas seluruh ibadahnya, lalu mengatakan shalat khusyu’ itu tidak ada bahkan mengatakan tidak mungkin.
Padahal dengan tegas, Al Qur’an mengatakan :

Qad aflahal mu’minuun, alladziina hum fii shalaatihim khasyi’uun.
Sungguh beruntung orang-orang beriman, yang di dalam shalatnya dilakukan dengan rasa khusyu’. (QS Al Mukminun [23]:1-2).

Sebaliknya Al Qur’an juga mengatakan bahwa ada shalat yang dilakukan oleh orang-orang munafik.

Innal munaafiqiiina yukhadi’uunallaaha wa huwa khaadi’uhum, idzaa qaamuu ilash shalaati qaamuu kusaalaa yuraauunan naasa wa la yadzkuruunallaaha illaa qaliilaa.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah juga akan membalas atas tipuannya tersebut. Mereka itu apabila melaksanakan shalat dilakukan dengan perasaan malas, dan mereka tidak serius didalam mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja. (QS An Nisaa’ [4]:142)

Singkatnya, shalat itu ada dua jenis yang tercantum dalam Al Qur’an, yaitu shalatnya orang mukmin dan shalatnya orang-orang munafik. Tinggal kita menilai, jenis shalat yang mana yang biasa kita lakukan.



Abu Sangkan
Jakarta, 31 Agustus 2008